“Dunia memang kurang adil terhadap perempuan,” kata Ismi Malihatun Nasiha. “Karenanya, sebaiknya kita bersiap-siap agar dapat mengubah keadaan.”
Sebelumnya seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) Migran, Ismi kini menjadi paralegal. Ia dapat mengingat dengan jelas titik dimana ia harus bangkit dan mengubah kondisinya, bahkan sebelum ia sepenuhnya paham tentang menjadi paralegal.
Semua bermula kala ia mencoba melaporkan kasus yang menimpanya saat bekerja di mantan majikannya di Singapura.
Sebelum bekerja di luar negeri, Ismi adalah seorang guru honorer dan Pembina Pramuka di sebuah SMP di Lampung. Ia mulai bekerja selepas lulus SMA. Ia juga menjadi pelatih paskibraka. Ismi juga dipercaya untuk mengayomi anak murid yang secara akademik terkendala. Dia juga banyak membantu di unit tata usaha.
Ismi pergi berangkat ke Singapura di tahun 2014. Itu adalah kali pertama ia bekerja di luar negeri.
Kesulitan di Luar Negeri
“Pengalaman bekerja (ke luar negeri ini) pertama dan satu-satunya ini masih membuat saya trauma,” ulasnya saat menjelaskan kehidupannya selama sembilan bulan di sana.
Ismi terpaksa tidur bersama tiga anak majikannya dan diharuskan untuk merawat 11 ekor kucing. Ketika dia sakit, dia membayar sendiri biaya pengobatannya dan mesti harus bekerja meskipun kondisinya tidak memungkinkan. Meski begitu, dia akrab dengan anak-anak dan juga orang tua majikannya.
Ketika hubungannya dengan majikannya memburuk, barang-barang Ismi dibuang, termasuk jurnalnya. Pada jurnal itu lah Ismi mendokumentasikan waktu dan detail pekerjaan dan suasana hatinya.
Ketika Ismi memutuskan untuk pergi meninggalkan majikannya, tidak ada tiket kepulangan yang disediakan. Ismi harus membeli sendiri.
Ketakutan akan pengalamannya, Ismi tak lagi memiliki asa untuk kembali menjadi PRT migran. Namun, ia ingin membantu PRT-PRT migran lainnya.
“Tak lama setelah saya pulang ke kampung, saya ikut pelatihan dari BP2MI dan juga SBMI Lampung.”
Ismi juga berkesempatan untuk bertemu Ari, mantan Kepala Kantor JWB Indonesia, yang sedang berada di Lampung dalam acara bersama Universitas Indonesia.
Kunjungan Ari merupakan bagian dari rangkaian program untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak PRT migran. Program tersebut menyediakan slot untuk penyaringan kasus, yang mana digunakan Ismi untuk menceritakan pengalamannya bekerja di Singapura kepada Ari.
“Saya sih tidak khawatir, kalau menang ya alhamdulillah, kalau tidak ya saya jadikan pelajaran saja,” katanya kala ditanyai tentang kemungkinan hasil kemajuan kasusnya.
Sebuah kekalahan yang berujung kemenangan bagi Ismi dan komunitasnya
“Sayangnya kasus saya tidak dapat dimenangkan karena kurangnya barang bukti. Terlebih, majikan saya pindah alamat dan tidak dapat diketemukan, sehingga tidak ada keadilan bagi saya di kasus ini.”
Bercermin dari pengalaman ini, Ismi bercerita bahwa dulunya dia tidak tahu tentang hak-hak yang seharusnya ia peroleh bila bekerja di Singapura. Ketika mengalami berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan, Ismi berpikir bahwa hal tersebut lumrah terjadi dan diperbolehkan secara legal.
“Seandainya saja saya tahu tentang hak-hal saya sebelum berangkat, saya tidak seharusnya menanggung luka seperti itu.”
Pengalaman ini membuat Ismi tersadar bahwa dirinya ingin mengajar kepada orang lain agar tidak mengalami hal yang sama dengannya.
“Saya memutuskan untuk mengajar calon PRT Migran sebanyak mungkin. Saya tidak mau melihat ada Ismi-Ismi lainnya di sekitar saya,” ujarnya. “Saya saat itu tidak begitu paham bahwa itu adalah titik bangkit saya untuk bekerja dan melakukan hal yang berbeda.”
Ismi tidak hanya membaktikan dirinya untuk satu kegiatan saja. Ismi sibuk, sangat sibuk bahkan.
“Saya paralegal di SBMI dan juga pendamping untuk Kalyanamitra area Lampung, sebuah organisasi yang berperan untuk mendorong penerapan hak-hak perempuan di Indonesia. Di saat yang sama, saya juga seorang mentee untuk program magang dari JWB, Program AKSES, di mana saya dapat belajar lebih banyak tentang litigasi lintas negara.”
Ismi juga menjadi pembicara di banyak kegiatan untuk peningkatan kesadaran akan migrasi aman di lingkungan tempat ia tinggal.
“Saya amat menikmati kegiatan-kegiatan harian saya. Saya senang berbagi pengetahuan bersama teman-teman lainnya. Rasanya berkah sekali untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman bersama orang lain.”
Ismi juga senang karena kepercayaan dirinya meningkat setelah mendapatkan banyak respon dari seminar dan acara-acara lain yang ia bawakan.
“Orang-orang senang mendengarkan ceramah saya. Kata mereka, bahasa yang saya gunakan dapat dimengerti dengan mudah, jadi mereka paham maksud dan tujuan yang saya harapkan. Ini membuat saya bersemangat.”
Ismi punya satu pesan sederhana untuk teman-teman perempuan agar mereka tetap semangat di Hari Perempuan Internasional.
“Jangan mau-mau saja dan serba menerima keadaan. Jangan takut untuk berbicara dan berpendapat, ingat, kita ini sama seperti laki-laki. Jangan merasa rendah diri hanya karena kita perempuan.”
Dia juga mengingatkan akan peran penting perempuan, bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan itu bukanlah untuk direduksi menjadi ‘membantu’ saja, tetapi tetaplah sebuah pekerjaan. “Menjadi PRT Migran itu juga sebuah pilihan mulia bagi perempuan.”
“Tidak ada batas bagi perempuan untuk meraih cita-cita mereka. Jika perempuan mengerti apa saja yang dapat mereka raih, mereka akan terus maju ke depan tanpa berbalik. Bila perempuan tahu bagaimana menghadapi kesulitan, pasti perempuan tidak akan dieksploitasi.”
“Saya ingin PRT Migran cermat dan taktis agar tidak dapat ditipu. Saya ingin mereka tahu kemana mereka harus pergi ketika menemui masalah di kemudian hari.”