Justice Without Borders dan KITA Institute Wonosobo Kupas Tuntas Tantangan Pekerja Migran Kala Pandemi

April 23, 2021
Category: Press Release

Kebijakan karantina wilayah di beberapa negara mengakibatkan pekerja migran menjadi semakin terisolasi. Tak cuma itu, Pekerja Migran juga rentan terpapar COVID-19 karena saat mereka pulang, mereka harus dikarantina di tempat penyintas COVID-19. Justice Without Borders dan KITA Institute Wonosobo membuka dialog umum tentang tantangan dan upaya pendampingan kasus Pekerja Migran Indonesia selama pandemi COVID-19.

Jakarta: Selasa, 20 April 2021

Realita ketidakadilan yang harus dihadapi pekerja migran Indonesia pada masa COVID-19 mendorong KITA Institute dan Justice Without Borders (JWB) secara bersama-sama mengadakan acara diskusi publik bertajuk “Penanganan Kasus Hukum Pekerja Migran Indonesia Pada Masa Pandemi COVID-19”. Diskusi publik ini dipandu oleh Vivi Octavia, staf hukum JWB, dan dimoderatori oleh Nia dari KITA Institute Wonosobo. Diskusi ini dilakukan melalui Zoom dan dihadiri setidaknya oleh 50 peserta. 

Septy Putri Erika Nugroho, dari Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Timur, selaku pembicara pertama pada diskusi publik ini, memaparkan bahwa di masa pandemi COVID-19 ini, situasi Pekerja Migran Indonesia menjadi lebih buruk. Hal ini terutama terjadi secara khusus pada Pekerja Rumah Tangga Migran, karena mereka rentan mengalami kekerasan berbasis gender mengingat beban kerja mereka yang semakin berat, upah mereka kerap dipotong, tidak ada hari libur karena harus tetap berada di rumah majikan, serta ketiadaan kegiatan sosial. Perlu diingat, dengan berada di dalam rumah, mereka tidak memiliki keleluasaan dan juga rentan mengalami perlakuan buruk dari lingkungan tempatnya bekerja.

A screenshot of the public discussion

Diskusi publik ini juga menghadirkan Freddy Panggabean, selaku Plt. Deputi Penempatan dan Perlindungan Kawasan Asia dan Afrika dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), yang mengamini pernyataan Septy. Tambahnya, migrasi dari calon PMI ke negara penempatan harus tersendat karena terdapat regulasi yang berbeda dan ketat di negara-negara tersebut. Secara umum, PMI mengalami beberapa kasus dalam pusaran COVID-19, yakni terjebak dalam penyebaran wabah, mengalami keterlantaran di negara penempatan dan tidak dapat kembali ke tanah air karena karantina wilayah, dan yang pelik adalah kehilangan mata pencaharian karena perusahaan tempat mereka gulung tikar atau ketidaksanggupan majikan mereka dalam membayar gaji mereka. 

BP2MI berperan dalam menindaklanjuti laporan kasus-kasus yang masuk terkait PMI dan mengidentifikasi mereka. Selain itu, BP2MI juga melakukan verifikasi status-status WNI yang dilaporkan dan aktif dalam melaksanakan mediasi untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dilaporkan. 

Di Kabupaten Wonosobo, Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian dan Transmigrasi (Disnakertrans) telah memiliki Layanan Terpadu Satu Atap, sebuah sistem layanan pemberian informasi, pemenuhan persyaratan dan penanganan permasalahan PMI yang terintegrasi dalam pelayanan publik yang murah, mudah, dan cepat. Kristiyanto, selaku Kepala Disnakertrans, menuturkan bahwa hingga 2008, Wonosobo merupakan salah satu area di Indonesia yang paling banyak mengirimkan PMI. Berdasarkan pasal 30 UU no. 18 2017, PMI tidak dikenai biaya penempatan, begitu juga dengan sertifikasi kerja dan pelatihan kerja. 

Namun, Kristiyanto menuturkan bahwa untuk saat ini, pemerintah Kabupaten Wonosobo belum siap dan akan ada pembahasan dalam rencana strategis mereka ke depan. Selama masa pandemi, kebijakan yang diatur oleh pemerintah pusat dipatuhi oleh pemerintah daerah, termasuk Wonosobo. Karenanya, saat hingar-bingar COVID-19 terdengar, Disnakertrans Wonosobo berusaha mensuplai masker dalam jumlah banyak ke calon PMI asal Wonosobo yang akan berangkat bekerja ke luar negeri. Hanya saja, negara-negara penempatan tidak menerima calon-calon PMI karena kebijakan mereka terkait dengan COVID-19. Sehingga, masker-masker tersebut mau tidak mau didonasikan kepada mereka yang membutuhkan di Wonosobo.

Masalah yang dihadapi oleh PMI tidak serta merta terselesaikan dengan kepulangan PMI ke tanah air. Salsa meyakini bahwa kompensasi yang adil dapat dimungkinkan dengan litigasi lintas negara, sehingga PMI yang sudah kembali ke Indonesia masih dapat menuntut haknya.  Salsa memaparkan bahwa COVID-19 membuat PMI menjadi rentan eksploitasi dan kekerasan, dan ketika seorang PMI mengalami eksploitasi dan kekerasan, itu akan berdampak ke keluarga dan komunitasnya, maka dari itu akses keadilan PMI harus semakin diperjuangkan di masa pandemi. Salsa juga berbagi pandangan tentang tantangan yang dihadapi saat mendampingi dan menyelesaikan kasus PMI, terutama selama pandemi, yakni cepatnya perubahan regulasi di Indonesia, jumlah pertanyaan dan konsultasi yang meningkat tajam, serta tantangan dalam pengumpulan bukti dan kehadiran di persidangan. Solusi dari tantangan yang dihadapi selama COVID-19 merupakan penguatan jejaring dan alur koordinasi antar-organisasi garda depan dan pemangku kepentingan terkait. 

Diskusi publik ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang dinamis. Peserta amat antusias untuk bertanya, dan para pembicara juga tak sungkan mendorong mereka untuk bertanya di lain kesempatan.