Untuk menjadi pekerja migran, seseorang memerlukan biaya yang besar untuk dapat mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Sayangnya, kebanyakan pekerja migran membayar jauh lebih banyak dari batas yang sudah diatur oleh hukum. Biaya tersebut seringkali jauh lebih tinggi dari pada jumlah gaji per bulan mereka. Pembebanan biaya berlebih ini adalah salah satu bentuk eksploitasi paling umum yang kami temukan dalam kasus-kasus yang kami tangani.
Isu yang Luas dan Merajalela
Suatu survei yang dilakukan oleh Mission for Migrant Workers di Hong Kong pada tahun 2017 menyatakan bahwa 96% dari pekerja migran Filipina yang diwawancarai telah membayarkan biaya agen ilegal yang berkedok untuk keperluan pendaftaran atau pelatihan. Sebanyak 119 agen ketenagakerjaan juga didapati membebankan biaya diatas batas yang diatur oleh hukum.1 Selain itu, survei lain yang dilakukan oleh Students Against Fees and Exploitation pada tahun 2017 terhadap 100 agen rekrutmen di Hong Kong mendapati bahwa 70% dari agen-agen tersebut terbukti melanggar hukum dengan membebankan biaya berlebih kepada Asisten Rumah Tangga atau menahan dokumen-dokumen pribadi mereka sebagai jaminan.2
Sementara itu di Singapura, sebuah artikel yang diterbitkan oleh Straits Times menyatakan bahwa dari tahun 2015 hingga 2017, Kementerian Ketenagakerjaan Singapura telah menerima sebanyak 500 laporan kasus dimana majikan tidak memberikan slip gaji dan rinciannya. Setelah pemeriksaan lanjut, jumlah ini bertambah; akhirnya 1,200 majikan lainnya juga diminta untuk memperbaiki kebiasaan tersebut.3 Pada awal tahun 2019, JWB mengadakan pelatihan dengan Blessed Grace Church untuk sekitar 200 orang pekerja migran Filipina. Ternyata, 90% dari peserta yang hadir telah membayar biaya penempatan selama lebih dari 2 bulan, sementara 30% dari peserta tersebut telah membayar selama lebih dari 5 bulan.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa banyak pekerja migran di Singapura dan Hong Kong terdampak oleh praktik eksploitasi besar-besaran. Walaupun pemerintah negara-negara tersebut sudah melakukan berbagai usaha untuk mengingkatkan kesadaran para pekerja akan hak-hak mereka, kebanyakan pekerja tidak menyadari bahwa mereka telah dibebanan biaya yang berlebih dan dieksploitasi oleh agen-agennya. Pekerja-pekerja tersebut terpaksa untuk membayar biaya dengan sebagian besar gajinya. Mereka beresiko terlilit utang dan malah tidak memiliki sisa gaji yang dapat mereka kirim ke kampung halaman.
Legalitas dan Normalitas
Hukum di Hong Kong terkait pembebanan biaya pekerja migran sebetulnya cukup sederhana. Agen ketenagakerjaan tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya penempatan terhadap Asisten Rumah Tangga sebanyak lebih dari 10% dari jumlah gaji bulan pertama bekerja mereka.4 Kode Praktik di Hong Kong juga melarang agen untuk menerima ganjaran dalam bentuk apapun atau keuntungan apapun yang sehubungan dengan pengeluaran atau hal-hal lainnya dari pekerja migran, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara itu, hukum Singapura memperbolehkan agen untuk membebankan biaya paling lama satu bulan untuk kontrak kerja satu tahun dan paling banyak dua bulan untuk kontrak kerja dua tahun atau lebih.
Hukum-hukum di negara asal para pekerja migran juga menetapkan batas jumlah biaya yang dapat dibebankan kepada mereka. Misalnya, hukum di Indonesia sebetulnya melarang agen ketenagakerjaan untuk membebankan biaya penempatan diluar dari biaya-biaya berikut: pembuatan dokumen, pemeriksaan kesehatan, pelatihan, permohonan visa, dan beberapa kebutuhan logistik lainnya. Di Filipina, biaya rekrutmen untuk sebagian besar kategori pekerja dibatasi sebanyak jumlah gaji satu bulan, walaupun Asisten Rumah Tangga dan Awak Badan Kapal tetap tidak boleh dibebankan biaya apapun.
Maka itu, seharusnya para pekerja terlindungi dari pembebanan biaya berlebih yang dapat mengurangi gaji mereka, baik di negara asal maupun negara penempatan. Sayangnya, pengalaman para pekerja pada umumnya sangat berbeda. Agen ketenagakerjaan biasanya memanipulasi sistem dengan mengaburkan perbedaan antara biaya pembebanan dan biaya-biaya lain yang seharusnya tidak boleh dibebankan. Biaya-biaya ini dibesar-besarkan dan disembunyikan dalam berbagai kategori yang tidak ada hubungannya. Hal ini diperparah dengan kebiasaan para agen yang tidak memberikan salinan bukti transaksi terkait biaya-biaya tersebut kepada para pekerja. Terlebih lagi, agen di Hong Kong dan Singapura biasanya juga sekaligus memintakan biaya yang seharusnya dibayarkan kepada rekan agen mereka di negara asal. Karena keterbatasan dokumentasi, jejak uang tersebut sangat sulit untuk ditelusuri, menyebabkan pemindahan uang ilegal menjadi lebih mudah.
Selain itu, walau para pekerja sudah menyadari bahwa mereka telah dieksploitasi, biasanya ada berbagai faktor yang menghambat mereka untuk melawan. Faktor yang paling menonjol adalah relasi kuasa antar pekerja dengan agen atau majikan; sebagai orang asing di negara yang baru, para pekerja biasanya segan meminta penjelasan terkait dokumen yang perlu mereka tandatangani atau meminta salinan dari dokumen-dokumen tersebut.
Dalam hampir semua kasus terkait biaya yang telah ditangani oleh JWB, klien-klien kami tidak memahami perjanjian yang telah mereka tandatangani. Mereka juga tidak mendapatkan rincian dari biaya-biaya yang dibebankan oleh agen ketenagakerjaan mereka.
Memutus Rantai Bisnis Ilegal
JWB telah bekerja di garda depan melalui litigasi perdata untuk membantu pekerja migran Indonesia dan Filipina mendapatkan ganti rugi dari agen-agen yang membebankan biaya berlebih. Peran kami dalam proses litigasi adalah untuk menyingkap praktik biaya ilegal yang selama ini tersembunyi dalam bisnis lintas negara, dan akhirnya memutus aliran uang yang telah dicuri dari para pekerja. Kami melakukan ini melalui dobrakan-dobrakan kasus dan mengedukasi para pekerja tentang hak-haknya supaya semakin banyak korban eksploitasi mau dan bisa melawan.
Salah satu dobrakan kasus terbaru kami adalah saat kami dan salah satu mitra kami mendapatkan kompensasi pembebanan biaya berlebih bagi 16 pekerja migran melalui gugatan kelompok di Indonesia. Walaupun pekerjaan kami biasanya berfokus pada litigasi lintas negara (misalkan saat kami menuntut agen di negara penempatan), dalam kasus ini kami menuntut agen di Indonesia untuk pekerja-pekerja yang masih berada di Hong Kong. Selain penyelesaian sengketa yang sukses, kami juga mendapatkan bukti penting yang menunjukkan rincian pembebanan biaya dari agen yang terlibat. Rincian tersebut menjelaskan bahwa biaya-biaya tersebut ternyata sama saja dengan uang sogokan.
Selain kesuksesan tersebut, kami telah mengajukan tuntutan terhadap agen-agen di Hong Kong dan Singapura. Walaupun jumlah kasus individu tersebut tidak seberapa, namun kasus-kasus ini diharapkan dapat membuat dobrakan hukum baru dan memperjelas proses operasional bisnis pembebanan biaya ilegal. Kasus-kasus ini dimulai pada tahun 2020, dengan hasil yang diharapkan dapat memberikan dampak di Hong Kong dan Singapura serta untuk sekitar 640,000 pekerja migran lainnya di masa depan.
Kesimpulan
Untuk memutus rantai bisnis eksploitasi pekerja migran yang telah merajalela, kita membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak. Peran JWB dalam usaha ini adalah untuk memanfaatkan hukum lokal sebaik mungkin demi mengusahakan pertanggungjawaban para pelaku dan mengedukasi para pekerja tentang hak-hak mereka supaya semakin banyak korban eksploitasi mau angkat bicara. Kedua cara ini diharapkan untuk dapat menggeser relasi kuasa, dengan harapan proses migrasi dapat menjadi lebih aman bagi para pekerja dan agen-agen akan lebih segan untuk mengeksploitasi para pekerja.
[2] http://www.ejinsight.com/20170511-70-of-employment-agencies-overcharge-domestic-helpers/
[4] https://www.info.gov.hk/gia/general/201909/27/P2019092500606.htm