“Saya gelisah dengan situasi di Wonosobo” ujar Rumi. Maklum, pasca krisis ekonomi 97 jumlah orang yang bekerja keluar negeri meningkat tajam, termasuk di Wonosobo. Berdasarkan catatan BNP2TKI, setidaknya 1000 orang pekerja migran diberangkatkan setiap tahunnya, yang didominasi oleh perempuan yang bekerja di sektor informal.
Rumi yang merupakan aktivis sosial dan kerap melakukan advokasi bagi kepentingan perempuan marginal di Wonosobo. Dia adalah salah satu pendiri Lembaga KITA, Organisasi yang didirikan pada tahun 2012 ini fokus bekerja untuk isu perdagangan perempuan dan anak, termasuk diantaranya adalah kasus pekerja migran. Rumi menyadari bahwa perempuan dan anak adalah pihak yang berpotensi menjadi korban dan terkena dampak dari isu ini.
KITA mulai menangani kasus-kasus pekerja migran sejak tahun 2015, bukan hanya kasus di Wonosobo tetapi juga mencakup Cilacap, Pati, dan Semarang. KITA selama ini mendampingi korban secara psikologis. Biasanya hal ini diawali dengan melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada korban, anak, maupun keluarga korban. Mereka meluangkan waktu untuk mendengar persoalan dan keluh kesah mereka sekaligus memberikan saran,
Guna meningkatkan kapasitas KITA dalam penanganan kasus, KITA bekerjasama dengan JWB mengadakan pelatihan internaldi Wonosobo pada 13 Desember 2018 silam. Pelatihan ini digelar untuk membekali staf dan relawan KITA untuk dapat secara cepat mengenali pelanggaran hak yang dialami pekerja migran, sekaligus membekali pengetahuan dasar terkait dengan pengumpulan bukti.
JWB sendiri memiliki kemampuan dan pengalaman dalam melakukan klaim kasus lintas batas. Sehingga dalam pelatihan ini KITA dan JWB berlatih untuk melakukan identifikasi kasus, mendiskusikan cara-cara kreatif mengumpulkan bukti, mendiskusikan hak-hak pekerja migran yang ada di Hong Kong dan Singapura, sekaligus mendiskusikan cara penyelesaian yang mungkin ditempuh –tidak hanya di Indonesia namun juga di negara tujuan seperti Hong Kong di Singapura. Klaim kasus lintas batas sendiri memiliki beragam keuntungan, salah satu diantaranya adalah korban bisa terlibat dalam prosesnya meskipun secara jarak jauh atau dengan kata lain korban tidak perlu menghabiskan uangnya untuk biaya transportasi dan akomodasi selama prosesnya.
Banyak dari peserta pelatihan menanggapi positif materi-materi yang diberikan.”Kami tidak menyangka ternyata ada banyak cara kreatif untuk mengumpulkan bukti,” ujar salah seorang peserta. Menurutnya menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) untuk mengakses bukti formal –seperti kontrak, belum terpikirkan sebelumnya.”Kami juga tidak mengira bukti-bukti informal seperti foto selfie di tempat kerja atau buku harian bisa memperkuat kasus,” ujar peserta lainnya. Lebih penting lagi, peserta melihat adanya peluang yang lebih besar bagi pekerja migran untuk mendapatkan keadilan –terutama dengan dimungkinkannya penanganan kasus lintas negara.
Selang sebulan dari pelatihan ini, KITA menangani kasus di mana klien merupakan pekerja migran yang bekerja di Singapura. KITA mampu mengidentifiksi kasus, kliennya mendapatkan kekerasan dan harus bekerja di dua majikan ya di mana hal tersebut tidak sesuai dengan kontrak kerja. Bahkan KITA mampu mendampingi agar kliennya bisa mendapatkan haknya untuk pulang kembali ke Semarang tanpa harus mendapat tekanan dan membayar ke PJTKIS. Dari situ KITA belajar bahwa korban juga punya kemampuan dan kemauan, KITA hanya perlu mendorong dan memperkuat pemahaman mereka akan haknya. Rumi berharap kedepannya KITA bisa siap dan mampu untuk menangani kasus lintas batas.
**