Penyintas Kanker Mendapatkan Keadilan Melalui Penyelesaian Sengketa Diskriminasi Disabilitas Pertama JWB

December 30, 2022
Category: Cases

Justice Without Borders (JWB) telah meraih penyelesaian sengketa pertama terkait diskriminasi terhadap disabilitas di Hong Kong untuk Amy (nama samaran), seorang pekerja migran domestik (PMD). Kemenangan yang dicapai pada pertengahan 2019 ini adalah suatu tonggak pencapaian kami dalam usaha untuk menyediakan akses keadilan bagi semua jenis eksploitasi atau kekerasan yang dapat dialami para pekerja migran.

Pada tahun 2017, Amy menderita kanker payudara saat sedang bekerja pada majikannya. Meski tengah berjuang melawan kanker, Amy tetap tegar dan mengusahakan untuk dapat bekerja hingga akhir kontraknya. Namun, masih ada banyak tantangan yang perlu dihadapinya.

Diberhentikan Mendadak Oleh Majikan Baru

Setelah kontrak dengan majikan lamanya telah berakhir, Amy kembali ke Filipina sambil menunggu kontrak barunya dengan majikan lain. Saat sedang menunggu hasil pemeriksaan medis (yang biasa dilewatinya sebagai persyaratan pekerjaan baru), Amy ditelepon agensinya untuk mengkonfirmasi kalau ia baru saja menjalani operasi baru-baru ini. Amy menceritakan bahwa dia telah dan tengah menjalani operasi payudara, pengobatan sekali sehari, dan pemeriksaan secara periodik. Walau begitu, ia tetap meyakinkan agensinya kalau ia cukup sehat untuk bekerja, karena saat itu ia bahkan sedang bekerja penuh waktu di Filipina sembari menunggu visa kerjanya selesai diurus.

Selang beberapa hari setelah Amy memberitahu agensinya tentang riwayat kesehatannya, kekhawatirannya ternyata terbukti saat ia dikabari bahwa kontraknya telah berakhir.

Melawan Balik

Demi memulihkan diri dari syok akan ketidakadilan yang dihadapinya, Amy mencari pertolongan dari organisasi HELP for Domestic Workers (HELP), lembaga nonprofit garis depan untuk komunitas pekerja migran di Hong Kong. HELP lalu merujuk kasusnya kepada JWB.

Setelah mendalami kasus Amy, JWB bekerja dengan HELP untuk membuat dokumen-dokumen penanganan kasus Amy yang dibutuhkan untuk mengajukan tuntutan melalui Departemen Ketenagakerjaan di Hong Kong. Suatu pertemuan diadakan dengan majikan kontrak Amy dan dihadiri oleh Kepala Kantor JWB Hong Kong pada waktu itu, Justine Lam, untuk menegosiasikan perjanjian penyelesaian sengketa.

Layaknya pekerja migran lainnya, saat menghadiri pertemuan tersebut Amy merasa gugup dan bingung akan peraturan dan prosedur di Hong Kong. JWB membantu mengajukan perubahan terhadap tawaran penyelesaian sengketa demi melindungi hak-hak Amy dan memastikan bahwa harapan-harapan Amy tersampaikan kepada majikannya dan petugas penyelesaian sengketa. Akhirnya, penyelesaian akan tuntutan-tuntutan tertentu Amy dapat terwujud dan ia tetap mempertahankan haknya untuk dapat mengusahakan tuntutan-tuntutan lainnya.

Memberikan Harapan Kepada Pekerja Migran

JWB percaya bahwa klien-klien kami tidak seharusnya mengalami ketidakadilan sebagai hasil ketimpangan kekuasaan antara majikan dan pekerja. Kami sadar bahwa proses pengajuan tuntutan bisa memakan waktu lama, dan prosesnya kompleks dan dapat sulit dimengerti. Misi JWB adalah untuk meluruskan kompleksitas-kompleksitas tersebut dan menopang klien kami melalui asistensi hukum, khususnya dalam kasus-kasus dimana mereka harus kembali ke negara asalnya namun tetap berharap untuk dapat melanjutkan kasus lintas negaranya.

Penyelesaian sengketa terkait diskriminasi disabilitas ini akan menjadi patokan bagi kami sebagai organisasi dalam menghadapi kasus-kasus serupa dikemudian hari. Dukungan dari rekan-rekan lembaga nonprofit garis depan serta pengacara-pengacara dan firma-firma hukum membantu kami dalam mengusahakan keadilan yang layak didapatkan oleh para klien kami. Selain itu, ketegaran, keberanian, dan kerja keras klien-klien seperti Amy menjadi inspirasi kami untuk tetap maju kedepan.

Pada pertemuan pertama kami dengan Amy, ia menangis saat kami mengatakan bahwa kami akan membantunya. Ia tidak mengira bahwa akan ada orang-orang yang cukup peduli dan hadir untuk membantunya mengatasi apa yang sedang dihadapinya.”

Nanor Wong, Staf Hukum, Justice Without Borders, Hong Kong